"My Ramadhan is Differently"
(Based On True Story)
*Kisah
ini telah dibukukan dalam Antologi Bersama tema: Ramadhan. Dengan judul
"Pelangi Ramadhan" (AG Publishing, Yogyakarta tahun 2012)
Telah menjadi suatu kebiasaan di pondok pesantrenku,
bahwa setiap datang bulan ramadhan seluruh santri wajib dikirimkan ke desa-desa
yang berada di pelosok Bumi Lampung. Tugasnya adalah untuk mengamalkan ilmu
agama yang sudah didapatkan di pondok pesantren. Nama kegiatan ini disebut
dengan Muballigh Hijrah (kalau
istilah dalam dunia kampusnya adalah KKN: Red). Sebagai sebuah pondok pesantren
khusus mahasiswa, maka hal ini sudah menjadi kewajiban bagi seluruh santri
untuk mengikutinya. Mengingat tingkatan kami yang sudah berstatus mahasiswa plus mahasantri yang sudah cukup dewasa
dalam berbagai hal tentunya. Lama
pendidikan di pondok pesantrenku ini adalah 3,5 tahun dan ditahun ke-2 aku dan santri
yang lain telah diwajibkan untuk mengikuti kegiatan Muballigh Hijrah ini. Ada banyak sekali kegiatan didalamnya,
seperti:
mengisi kultum (kuliah tujuh menit) setelah sholat taraweh dan subuh, mengisi pengajian ibu-ibu, menjadi khotib pada sholat jum’at, mengajar anak-anak TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), dan mengisi pesantren kilat di sekolah-sekolah. Selain mondok, aku juga berstatus mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Metro. Jadi ilmu untuk berhadapan dan bersosial dengan masyarakat sudah aku dapatkan dibangku kuliah, ditambah dengan ilmu agama yang aku dapatkan di pondok pesantren.
mengisi kultum (kuliah tujuh menit) setelah sholat taraweh dan subuh, mengisi pengajian ibu-ibu, menjadi khotib pada sholat jum’at, mengajar anak-anak TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), dan mengisi pesantren kilat di sekolah-sekolah. Selain mondok, aku juga berstatus mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Metro. Jadi ilmu untuk berhadapan dan bersosial dengan masyarakat sudah aku dapatkan dibangku kuliah, ditambah dengan ilmu agama yang aku dapatkan di pondok pesantren.
Sebelum kegiatan Muballigh
Hijrah berlangsung, seluruh santri diberikan pembekalan terlebih dahulu.
Lama pembekalan ini biasanya 1 minggu sebelum datangnya bulan ramadhan. Dipembekalan
ini aku dan santri yang lain biasanya diajarkan untuk bagaimana cara hidup
bersosial dengan masyarakat dari mulai bangun tidur sampai tidur kembali, cara
makan dan minum yang baik, cara berbicara, bertutur kata yang baik , bertingkah
laku, dsb. Intinya adalah bagaimana hidup ber-mu’amalah. Pembekalan ini sangat berharga sekali bagiku sebelum
benar-benar terjun ke masyarakat. Dan ramadhan ini adalah menjadi Muballigh Hijrah pertama bagiku.
Entahlah apakah aku mampu untuk terjun ke masyarakat desa, untuk menjadi potret
teladan disana sekaligus sebagai seorang da’i
yang menebarkan benih-benih kebaikan.
Di hari akhir pembekalan, dewan asatidz (para ustadz/kyai
:Red) mengumumkan kepadaku dan kepada santri yang lain, mengenai lokasi desa dimana
tempat kami mengabdi. Dengan hati yang berdebar-debar, aku dan seluruh santri sudah
tak sabar menunggu di desa mana kami akan diterjunkan. Akhirnya keputusan telah
ditentukan. Kabupaten Lampung Tengah menjadi tempat seluruh santri disebar untuk
berdakwah dan mengamalkan ilmu agamanya. Dan aku mendapatkan tugas di kecamatan
Pubian di desa Tias Bangun. Lokasi yang asing bagiku. Mendengar nama desanya
saja baru kali itu. Alhamdulillah,
aku tidak sendiri disana, tetapi ditemani dengan santri-santri yang lain yang
berjumlahkan 3 orang. Sedangkan teman-temanku yang lain juga tersebar diberbagai
desa dalam kecamatan di kabupaten Lampung Tengah itu.
Akhirnya tibalah hari yang dinanti-nantikan itu.
Dipagi hari yang sangat cerah sekali di H-1
menjelang masuknya bulan ramadhan, kami ber-i’tikad
bahwa kami mampu dan bisa. Satu persatu kami diantarkan ke desa-desa tempat kami mendapatkan tugas
mengabdi kepada masyarakat desa. Rasa haru, sedih, dan bahagia serta kehilangan
menyelimuti kami semua. Bersalaman, berpelukan,
dan saling mendoakan kami lakukan. Melepas kepergian dan berpisah dengan teman-teman
untuk sementara dalam mengemban amanah yang
cukup besar ini.
Tak terasa kaki ini telah berpindah tempat menuju
sebuah desa tempatku dan teman-temanku mengabdi. Dengan menempuh perjalanan
kurang lebih selama 2 jam, tak membuat lelah hati ini menyaksikan keindahan
suasana desa nan alami. Subhanallah,
sangat indah sekali segala ciptaan-Mu. Tak ada sesuatu pun yang tidak
sempurna. Sangat berbeda dengan suasana
di kota yang sudah banyak ter-kontaminasi
dengan berbagai hal. Di desa ini tempatku mengabdi selama bulan ramadhan, ternyata kami telah dinantikan oleh warga desa
setempat. Aku dan teman-temanku merasa terharu dengan sambutan yang sangat wah bagiku. Aku dan teman-temanku ditempatkan
di rumah kepala desa.
“Assalamu’alaikum.” Sapaku yang juga diikuti oleh
teman-temanku.
“Wa’alaikumussalam.” Serentak semua yang berada di
rumah kepala desa menjawab salam kami. Termasuk kepala desa.
“Santri utusan pondok pesantren Metro ya?” Tanya
Bapak berkacamata putih berjenggot tebal yang diketahui adalah seorang Bapak
kepala desa ini.
“Benar Pak.” Jawabku mewakili.
“Oh mari, silahkan masuk.” Bapak berkacamata putih
berjenggot tebal itu mempersilahkan kami.
Hatiku terasa deg-degan
dan canggung berada dengan
orang-orang yang baru kulihat saat itu. Dan di desa ini terasa sangat asing
sekali bagiku. Akhirnya aku dan ketiga temanku dikumpulkan untuk bermusyawarah.
Inti dari musyawarah itu adalah aku dan ketiga temanku selama bulan ramadhan
ini ditempatkan untuk tinggal disini. Di rumah Bapak kepala desa. Kemudian
membahas jadwal kegiatan selama 25 hari mengisi dan meyemarakkan bulan ramadhan
di desa itu. Dalam benakku mengatakan bahwa ramadhan kali ini pasti akan
berbeda dengan ramadhan-ramadhan sebelumnya. Ramadhan tahun lalu aku masih bisa
merasakan berkumpul dengan keluargaku.
Sahur dan buka puasa bareng, sholat taraweh bareng, dan lain-lain.
Malam hari perlahan menyibakkan kegelapannya.
Burung-burung pulang ke sarangnya masing-masing dengan membawa bekal yang cukup
untuk digunakannnya malam ini. Suara adzan isya membahana di seantero desa Tias
Bangun. Malam ini adalah malam 1 ramadhan. Berduyun-duyun warga desa Tias
Bangun melangkahkan kaki menuju masjid untuk melaksanakan titah Tuhan-nya. Aku
mendapat kebagian di salah satu masjid yang ada di desa ini. Nama masjidnya
adalah masjid Al-Furqon. Sebelum berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat
isya dan taraweh, kusibukkan diriku
sejenak di kamar dengan berlatih
dihadapan cermin. Hmmm.. Rasa deg-degan dan nerveous selalui saja menghantuiku.
“Sudahlah Ahmad, antum
pasti bisa. Percaya diri sajalah.” Ujar
temanku yang bernama Hanif yang satu utusan juga denganku di desa ini
menyemangati.
“Oke, saya pasti bisa.” Tegasku lantang.
Sholat isya dan taraweh
berjama’ah pun dilangsungkan. Dengan di imami
oleh Bapak kepala desa. Luar biasa. Pada malam pertama ramadhan ini, banyak
sekali jama’ah yang hadir memenuhi rumah Allah ini. Sampai-sampai masjid ini
tak cukup kuasa menampung sebagian warga
desa. Tak sedikit warga desa yang sholat di teras dan halaman masjid Al-Furqon.
Seandainya saja kondisi ini masih tetap berlangsung hingga akhir ramadhan,
terlebih diluar bulan ramadhan pasti Islam akan jaya kembali dengan banyaknya
umat muslim yang istiqomah sholat jama’ah di masjid. Dan sudah dipastikan
orang-orang Yahudi akan gentar untuk mendzolimi dan berbuat semena-mena terhadap kaum muslimin.
Akhirnya tibalah aku tampil kedepan untuk memberikan
kultum kepada seluruh jama’ah yang hadir. Keringat dingin membasahi seluruh
tubuhku. Dengan mengucap bismillah,
kemudian aku naik ke atas mimbar untuk memberikan kultum. Namun sebelum
memberikan kultum, aku memperkenalkan diriku terlebih dahulu kepada jama’ah dan
warga desa. Setelah dirasa cukup, baru setelah itu aku memulai kultumku. Allahu Akbar. Dengan Kehendak-Nya
akhirnya aku lancar menyampaikan kultum. Walaupun agak sedikit deg-degan dan mulut ini terasa kering
dibuatnya.
Setelah aku turun dari atas mimbar, bak seorang artis aku langsung
dikerumuni anak-anak kecil seusia SD dan SMP yang ingin meminta tanda tanganku.
Kutorehkan tinta dikertas-kertas yang bertumpuk di buku kegiatan ramadhan
mereka. Sebagai tanda bukti bahwa mereka melaksanakan sholat taraweh dan mendengarkan kultum yang
akan diperiksa oleh guru agama mereka di sekolahnya masing-masing. Hufft.. selesai juga. Sedikit pegal
tangan ini, tapi aku sangat senang sekali dengan tingkah dan polah mereka.
Kemudian aku dikagetkan oleh beberapa ibu-ibu yang
membawa makanan yang tersaji diatas piring-piring untuk dimakan bersama setelah
rangkaian sholat taraweh selesai. Subhanallah, kebiasaan warga desa yang
satu ini baru kutemukan dan kurasakan disini. Menambah rasa ukhuwah dan tali persaudaraan semakin erat. Di kota, mana ada hal
yang semacam ini. Rata-rata penduduk kota seperti sudah hidup sendiri-sendiri.
Lebih mementingkan egosentrisnya
masing-masing. Istilahnya adalah “Elo-elo,
gue gue.” sangat berbeda jauh dengan kehidupan di desa. Selanjutnya aku
berbincang-bincang dengan sebagian jama’ah yang masih berada di masjid dan
sesekali memakan sajian yang telah dihidangkan oleh ibu-ibu tersebut. Indah dan menyenangkan sekali.
Hawa dingin menyelimuti kawasan desa Tias Bangun.
Membuat siapa saja yang imannya lemah untuk mengurungkan niatnya bangun dari
tidur dan menarik kembali selimutnya. Terlihat disepanjang jalan dan gang-gang
desa, sekumpulan remaja tanggung lengkap dengan peralatan dapurnya seperti: wajan, sutil, panci, dan berbagai alat
penggorengan lainnya, tengah sibuk membangunkan warga desa untuk melaksanakan
sahur. Semangat mereka membangunkan warga desa untuk melaksanakan sahur,
seharusnya menjadikan contoh bagi kita.
Dengan terkantuk-kantuk dan menepis hawa dingin
ditubuh, aku dan temanku segera bangun menuju kamar mandi untuk mencuci muka
dan berwudhu. Kemudian masuk ke kamar lagi untuk tadarus qur’an. Aku akan menargetkan untuk bisa khatam membaca
Al-Qur’an selama bulan ramadhan ini. Meskipun jadwal kegiatanku di desa ini
sangat banyak sekali. Kudongakkan kepalaku ke arah dinding yang telah
kutempelkan kertas jadwal kegiatan selama bulan ramadhan di desa Tias Bangun
ini. Ternyata jadwal mengisi kultum ba’da sholat subuh ini adalah di mushola
kidul. “Hmm.. Dimana itu?” Pikirku.
Saat aku masih berkutat dengan Al-Qur’an, tiba-tiba
tuan rumah mengetuk kamar yang aku tempati ini untuk makan sahur bersama.
Dengan sigap aku bergegas keluar dan tak lupa mengajak temanku untuk berkumpul
di meja makan dengan seluruh anggota keluarga rumah ini. Ada perasaan tidak
enak bergabung dengan para anggota keluarga baru ini.
“Jangan malu-malu, anggap saja ini rumah kalian
sendiri. Ayo, Ahmad ditambah makan sahurnya, nanti lemes lagi. Kan agendanya
banyak hari ini.” Pinta istri Bapak kepala desa dengan sangat ramah dan
bersahabat.
“Subhanallah,
sangat baik sekali tuan rumah dan para anggota keluarganya.” Ucapku dalam hati.
Kumandang adzan bergema dengan merdunya. Pertanda
berakhirnya waktu sahur dan juga masuknya sholat subuh. Dengan pakaian sholat
yang rapi lagi bersih, aku sudah bersiap menuju rumah Allah dan mengikuti Bapak
kepala desa menuju mushola yang cukup jauh dan jalannya yang sedikit rusak.
Perlu mengendarai sepeda motor untuk menempuhnya.
Akhirnya tibalah aku di mushola tersebut. Luar
biasa. Walaupun musholanya kecil, tapi jama’ahnya cukup banyak. Kembali rasa deg-degan menghantuiku. Tetesan air
keringat membanjiri seluruh tubuhku. Padahal suasana subuh itu sangat dingin
sekali. Dengan semangat dan rasa optimis, aku kembali memberikan materi-materi
tentang ramadhan. Kali ini tema yang aku berikan adalah mengenai pembatal puasa.
Antusias jama’ah mendengarkan kultum yang kusampaikan. Ada salah seorang
jama’ah yang sangat lekat memperhatikan gerakan dan ucapanku, akupun menjadi kikuk. Alhamdulillah, akhirnya selesai juga aku memberikan kultum. Semoga
apa yang kusampaikan bisa sedikit memberikan pencerahan dan manfaat bagi
mereka.
Selesai kultum aku berbincang-bincang sebentar
dengan jama’ah mushola ini. kesempatan seperti ini aku gunakan untuk menanyakan
kondisi masyarakat didesa ini, seperti:
penghasilan ekonomi, keadaan sosial, pemahaman agama, dan sebagainya. Ternyata
kondisi masyarakat di desa ini heterogen. Banyak sekali perbedaan pada setiap
individu maupun kelompok.
Singkat cerita, beginilah kegiatan-kegiatanku selama
bulan ramadhan di desa Tias Bangun. Selain mengisi kultum, ada juga kesempatan
mengisi pengajian ibu-ibu, khutbah jum’at, ngajar
ngaji anak-anak TPA, dan lain-lain. Yang semuanya itu mempunyai ukiran
kenangan indah tersendiri. Membuatku
menjadi semakin percaya diri bila berhadapan dengan banyak orang. Juga menjadikanku
semakin dewasa dalam menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan ini.
Tak terasa kegiatan Muballigh Hijrah ini selesai. Dan pada kesempatan terakhir itu
setelah dilaksanakannya sholat subuh, aku naik mimbar mewakilkan teman-temanku
yang lain, untuk menyampaikan kata-kata terakhir. Dengan terbata-bata dan
berusaha menahan tangis, aku menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak kepala
desa dan seluruh warga desa Tias Bangun atas diterimanya kami berada
ditengah-tengah mereka selama bulan ramadhan ini. Ucapan permintaan maaf juga
tak luput kusampaikan atas segala perbuatan, ucapan, sikap dan segala tindakan
kami selama berada di desa ini. Tak terasa air mata merembes membasahi pipiku.
Usai menyampaikan kata-kata terakhir itu, giliran
Bapak kepala desa yang maju untuk menyampaikan beberapa hal kepadaku dan
teman-temanku yang lain. Beliau mengucapkan rasa terima kasihnya kepadaku dan
teman-temanku karena telah mengamalkan ilmu agama di desanya. Jarang sekali
anak-anak muda yang prihatin terhadap agamanya sendiri, terlebih yang menuntut
ilmu di sebuah pondok pesantren. Beliau juga memberikan motivasi kepada warga
desanya agar kelak memondokkan
anak-anaknya agar menjadi insan yang
terdidik baik dari segi dunia maupun akhirat.
Setelah Bapak kepala desa selesai menyampaikan
sambutannya, aku dan teman-temanku bersalam-salaman dan berpelukan dengan
seluruh warga desa. Mohon pamit diri untuk kembali ke Metro. Tak lupa juga aku
dan teman-temanku berpamitan dengan tuan rumah dan para anggota keluarganya
yang selama bulan ramadhan ini banyak memfasilitasi kami untuk berdakwah. Untuk
terakhir kalinya, kami sempat mengabadikan kenangan melaui foto bersama sebagai
kenangan terakhir sekaligus perpisahan. Rasa suka dan duka menyelimui suasana
desa Tias bangun. Akhirnya air mata ini tak kuasa kubendung.
Dalam perjalanan ke Metro, kesedihan masih
menghinggapiku dan teman-temanku. Ingin rasanya kembali ke desa tersebut.
Karena sebagian kecil kisah hidupku sudah tertanam disana. Akhirnya aku dan
seluruh teman-temanku yang tersebar di berbagai kecamatan di kabupaten Lampung
Tengah, telah kembali lagi ke pondok pesantren.
Setibanya disana kami pun langsung berbagi pengalaman. Suka dan duka
kami curahkan bersama. Kisah-kisah yang berbeda dan menarik selama bulan
ramadhan di desa tempat kami mengabdi, tak luput diperbincangkan. Ramadhan kali
ini sungguh sangat berbeda. Dan aku pun siap untuk menyambut datangnya hari
kemenangan.
-Selesai-
Metro,
20 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar