06 Oktober 2013

Pelangi Ramadhan



"My Ramadhan is Differently"
(Based On True Story) 

*Kisah ini telah dibukukan dalam Antologi Bersama tema: Ramadhan. Dengan judul "Pelangi Ramadhan" (AG Publishing, Yogyakarta tahun 2012)


 Telah menjadi suatu kebiasaan di pondok pesantrenku, bahwa setiap datang bulan ramadhan seluruh santri wajib dikirimkan ke desa-desa yang berada di pelosok Bumi Lampung. Tugasnya adalah untuk mengamalkan ilmu agama yang sudah didapatkan di pondok pesantren. Nama kegiatan ini disebut dengan Muballigh Hijrah (kalau istilah dalam dunia kampusnya adalah KKN: Red). Sebagai sebuah pondok pesantren khusus mahasiswa, maka hal ini sudah menjadi kewajiban bagi seluruh santri untuk mengikutinya. Mengingat tingkatan kami yang sudah berstatus mahasiswa plus mahasantri yang sudah cukup dewasa dalam berbagai hal tentunya.  Lama pendidikan di pondok pesantrenku ini adalah 3,5 tahun dan ditahun ke-2 aku dan santri yang lain telah diwajibkan untuk mengikuti kegiatan Muballigh Hijrah ini. Ada banyak sekali kegiatan didalamnya, seperti:
mengisi kultum (kuliah tujuh menit) setelah sholat taraweh dan subuh, mengisi pengajian ibu-ibu, menjadi khotib pada sholat  jum’at, mengajar anak-anak TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), dan mengisi pesantren kilat di sekolah-sekolah. Selain mondok, aku juga berstatus mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Metro. Jadi ilmu untuk berhadapan dan bersosial dengan masyarakat sudah aku dapatkan dibangku kuliah, ditambah dengan ilmu agama yang aku dapatkan di pondok pesantren.

Sebelum kegiatan Muballigh Hijrah berlangsung, seluruh santri diberikan pembekalan terlebih dahulu. Lama pembekalan ini biasanya 1 minggu sebelum datangnya bulan ramadhan. Dipembekalan ini aku dan santri yang lain biasanya diajarkan untuk bagaimana cara hidup bersosial dengan masyarakat dari mulai bangun tidur sampai tidur kembali, cara makan dan minum yang baik, cara berbicara, bertutur kata yang baik , bertingkah laku, dsb. Intinya adalah bagaimana hidup ber-mu’amalah. Pembekalan ini sangat berharga sekali bagiku sebelum benar-benar terjun ke masyarakat. Dan ramadhan ini adalah menjadi Muballigh Hijrah pertama bagiku. Entahlah apakah aku mampu untuk terjun ke masyarakat desa, untuk menjadi potret teladan disana sekaligus sebagai seorang da’i yang menebarkan benih-benih kebaikan.

Di hari akhir pembekalan, dewan asatidz (para ustadz/kyai :Red) mengumumkan kepadaku dan kepada santri yang lain, mengenai lokasi desa dimana tempat kami mengabdi. Dengan hati yang berdebar-debar, aku dan seluruh santri sudah tak sabar menunggu di desa mana kami akan diterjunkan. Akhirnya keputusan telah ditentukan. Kabupaten Lampung Tengah menjadi tempat seluruh santri disebar untuk berdakwah dan mengamalkan ilmu agamanya. Dan aku mendapatkan tugas di kecamatan Pubian di desa Tias Bangun. Lokasi yang asing bagiku. Mendengar nama desanya saja baru kali itu. Alhamdulillah, aku tidak sendiri disana, tetapi ditemani dengan santri-santri yang lain yang berjumlahkan 3 orang. Sedangkan teman-temanku yang lain juga tersebar diberbagai desa dalam kecamatan di kabupaten Lampung Tengah itu.

Akhirnya tibalah hari yang dinanti-nantikan itu. Dipagi hari yang sangat cerah sekali di H-1 menjelang masuknya bulan ramadhan, kami ber-i’tikad bahwa kami mampu dan bisa. Satu persatu kami diantarkan  ke desa-desa tempat kami mendapatkan tugas mengabdi kepada masyarakat desa. Rasa haru, sedih, dan bahagia serta kehilangan menyelimuti kami semua.  Bersalaman, berpelukan, dan saling mendoakan kami lakukan. Melepas kepergian dan berpisah dengan teman-teman untuk sementara dalam  mengemban amanah yang cukup besar ini.

Tak terasa kaki ini telah berpindah tempat menuju sebuah desa tempatku dan teman-temanku mengabdi. Dengan menempuh perjalanan kurang lebih selama 2 jam, tak membuat lelah hati ini menyaksikan keindahan suasana desa nan alami. Subhanallah, sangat indah sekali segala ciptaan-Mu. Tak ada sesuatu pun yang tidak sempurna.  Sangat berbeda dengan suasana di kota yang sudah banyak ter-kontaminasi dengan berbagai hal. Di desa ini tempatku mengabdi selama bulan ramadhan,  ternyata kami telah dinantikan oleh warga desa setempat. Aku dan teman-temanku merasa terharu dengan sambutan yang sangat wah bagiku. Aku dan teman-temanku ditempatkan di rumah kepala desa.

“Assalamu’alaikum.” Sapaku yang juga diikuti oleh teman-temanku. 

“Wa’alaikumussalam.” Serentak semua yang berada di rumah kepala desa menjawab salam kami. Termasuk kepala desa.

“Santri utusan pondok pesantren Metro ya?” Tanya Bapak berkacamata putih berjenggot tebal yang diketahui adalah seorang Bapak kepala desa ini.

“Benar Pak.” Jawabku mewakili.

“Oh mari, silahkan masuk.” Bapak berkacamata putih berjenggot tebal itu mempersilahkan kami.

Hatiku terasa deg-degan dan canggung berada dengan orang-orang yang baru kulihat saat itu. Dan di desa ini terasa sangat asing sekali bagiku. Akhirnya aku dan ketiga temanku dikumpulkan untuk bermusyawarah. Inti dari musyawarah itu adalah aku dan ketiga temanku selama bulan ramadhan ini ditempatkan untuk tinggal disini. Di rumah Bapak kepala desa. Kemudian membahas jadwal kegiatan selama 25 hari mengisi dan meyemarakkan bulan ramadhan di desa itu. Dalam benakku mengatakan bahwa ramadhan kali ini pasti akan berbeda dengan ramadhan-ramadhan sebelumnya. Ramadhan tahun lalu aku masih bisa merasakan  berkumpul dengan keluargaku. Sahur dan buka puasa bareng, sholat taraweh bareng, dan lain-lain.

Malam hari perlahan menyibakkan kegelapannya. Burung-burung pulang ke sarangnya masing-masing dengan membawa bekal yang cukup untuk digunakannnya malam ini. Suara adzan isya membahana di seantero desa Tias Bangun. Malam ini adalah malam 1 ramadhan. Berduyun-duyun warga desa Tias Bangun melangkahkan kaki menuju masjid untuk melaksanakan titah Tuhan-nya. Aku mendapat kebagian di salah satu masjid yang ada di desa ini. Nama masjidnya adalah masjid Al-Furqon. Sebelum berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat isya dan taraweh, kusibukkan diriku sejenak  di kamar dengan berlatih dihadapan cermin. Hmmm.. Rasa deg-degan dan nerveous selalui saja menghantuiku.

“Sudahlah Ahmad, antum pasti bisa. Percaya diri sajalah.”  Ujar temanku yang bernama Hanif yang satu utusan juga denganku di desa ini menyemangati.

“Oke, saya pasti bisa.” Tegasku lantang.

Sholat isya dan taraweh berjama’ah pun dilangsungkan. Dengan di imami oleh Bapak kepala desa. Luar biasa. Pada malam pertama ramadhan ini, banyak sekali jama’ah yang hadir memenuhi rumah Allah ini. Sampai-sampai masjid ini tak cukup kuasa menampung sebagian  warga desa. Tak sedikit warga desa yang sholat di teras dan halaman masjid Al-Furqon. Seandainya saja kondisi ini masih tetap berlangsung hingga akhir ramadhan, terlebih diluar bulan ramadhan pasti Islam akan jaya kembali dengan banyaknya umat muslim yang istiqomah sholat jama’ah di masjid. Dan sudah dipastikan orang-orang Yahudi akan gentar untuk mendzolimi dan berbuat semena-mena terhadap kaum muslimin.

Akhirnya tibalah aku tampil kedepan untuk memberikan kultum kepada seluruh jama’ah yang hadir. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Dengan mengucap bismillah, kemudian aku naik ke atas mimbar untuk memberikan kultum. Namun sebelum memberikan kultum, aku memperkenalkan diriku terlebih dahulu kepada jama’ah dan warga desa. Setelah dirasa cukup, baru setelah itu aku memulai kultumku. Allahu Akbar. Dengan Kehendak-Nya akhirnya aku lancar menyampaikan kultum. Walaupun agak sedikit deg-degan dan mulut ini terasa kering dibuatnya.

Setelah aku turun dari atas mimbar, bak seorang artis aku langsung dikerumuni anak-anak kecil seusia SD dan SMP yang ingin meminta tanda tanganku. Kutorehkan tinta dikertas-kertas yang bertumpuk di buku kegiatan ramadhan mereka. Sebagai tanda bukti bahwa mereka melaksanakan sholat taraweh dan mendengarkan kultum yang akan diperiksa oleh guru agama mereka di sekolahnya masing-masing. Hufft.. selesai juga. Sedikit pegal tangan ini, tapi aku sangat senang sekali dengan tingkah dan polah mereka.

Kemudian aku dikagetkan oleh beberapa ibu-ibu yang membawa makanan yang tersaji diatas piring-piring untuk dimakan bersama setelah rangkaian sholat taraweh selesai. Subhanallah, kebiasaan warga desa yang satu ini baru kutemukan dan kurasakan disini. Menambah rasa ukhuwah dan tali persaudaraan semakin erat. Di kota, mana ada hal yang semacam ini. Rata-rata penduduk kota seperti sudah hidup sendiri-sendiri. Lebih mementingkan egosentrisnya masing-masing. Istilahnya adalah “Elo-elo, gue gue.” sangat berbeda jauh dengan kehidupan di desa. Selanjutnya aku berbincang-bincang dengan sebagian jama’ah yang masih berada di masjid dan sesekali memakan sajian yang telah dihidangkan oleh ibu-ibu tersebut. Indah dan menyenangkan sekali.

Hawa dingin menyelimuti kawasan desa Tias Bangun. Membuat siapa saja yang imannya lemah untuk mengurungkan niatnya bangun dari tidur dan menarik kembali selimutnya. Terlihat disepanjang jalan dan gang-gang desa, sekumpulan remaja tanggung lengkap dengan peralatan dapurnya seperti: wajan, sutil, panci, dan berbagai alat penggorengan lainnya, tengah sibuk membangunkan warga desa untuk melaksanakan sahur. Semangat mereka membangunkan warga desa untuk melaksanakan sahur, seharusnya menjadikan contoh bagi kita. 

Dengan terkantuk-kantuk dan menepis hawa dingin ditubuh, aku dan temanku segera bangun menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan berwudhu. Kemudian masuk ke kamar lagi untuk tadarus qur’an. Aku akan menargetkan untuk bisa khatam membaca Al-Qur’an selama bulan ramadhan ini. Meskipun jadwal kegiatanku di desa ini sangat banyak sekali. Kudongakkan kepalaku ke arah dinding yang telah kutempelkan kertas jadwal kegiatan selama bulan ramadhan di desa Tias Bangun ini. Ternyata jadwal mengisi kultum ba’da sholat subuh ini adalah di mushola kidul. “Hmm.. Dimana itu?” Pikirku.

Saat aku masih berkutat dengan Al-Qur’an, tiba-tiba tuan rumah mengetuk kamar yang aku tempati ini untuk makan sahur bersama. Dengan sigap aku bergegas keluar dan tak lupa mengajak temanku untuk berkumpul di meja makan dengan seluruh anggota keluarga rumah ini. Ada perasaan tidak enak bergabung dengan para anggota keluarga baru ini. 

“Jangan malu-malu, anggap saja ini rumah kalian sendiri. Ayo, Ahmad ditambah makan sahurnya, nanti lemes lagi. Kan agendanya banyak hari ini.” Pinta istri Bapak kepala desa dengan sangat ramah dan bersahabat. 

“Subhanallah, sangat baik sekali tuan rumah dan para anggota keluarganya.” Ucapku dalam hati.

Kumandang adzan bergema dengan merdunya. Pertanda berakhirnya waktu sahur dan juga masuknya sholat subuh. Dengan pakaian sholat yang rapi lagi bersih, aku sudah bersiap menuju rumah Allah dan mengikuti Bapak kepala desa menuju mushola yang cukup jauh dan jalannya yang sedikit rusak. Perlu mengendarai sepeda motor untuk menempuhnya. 

Akhirnya tibalah aku di mushola tersebut. Luar biasa. Walaupun musholanya kecil, tapi jama’ahnya cukup banyak. Kembali rasa deg-degan menghantuiku. Tetesan air keringat membanjiri seluruh tubuhku. Padahal suasana subuh itu sangat dingin sekali. Dengan semangat dan rasa optimis, aku kembali memberikan materi-materi tentang ramadhan. Kali ini tema yang aku berikan adalah mengenai pembatal puasa. Antusias jama’ah mendengarkan kultum yang kusampaikan. Ada salah seorang jama’ah yang sangat lekat memperhatikan gerakan dan ucapanku, akupun menjadi kikuk. Alhamdulillah, akhirnya selesai juga aku memberikan kultum. Semoga apa yang kusampaikan bisa sedikit memberikan pencerahan dan manfaat bagi mereka.

Selesai kultum aku berbincang-bincang sebentar dengan jama’ah mushola ini. kesempatan seperti ini aku gunakan untuk menanyakan kondisi masyarakat didesa ini,  seperti: penghasilan ekonomi, keadaan sosial, pemahaman agama, dan sebagainya. Ternyata kondisi masyarakat di desa ini heterogen. Banyak sekali perbedaan pada setiap individu maupun kelompok.


Singkat cerita, beginilah kegiatan-kegiatanku selama bulan ramadhan di desa Tias Bangun. Selain mengisi kultum, ada juga kesempatan mengisi pengajian ibu-ibu, khutbah jum’at, ngajar ngaji anak-anak TPA, dan lain-lain. Yang semuanya itu mempunyai ukiran kenangan indah tersendiri.  Membuatku menjadi semakin percaya diri bila berhadapan dengan banyak orang. Juga menjadikanku semakin dewasa dalam menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan ini.

Tak terasa kegiatan Muballigh Hijrah ini selesai. Dan pada kesempatan terakhir itu setelah dilaksanakannya sholat subuh, aku naik mimbar mewakilkan teman-temanku yang lain, untuk menyampaikan kata-kata terakhir. Dengan terbata-bata dan berusaha menahan tangis, aku menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak kepala desa dan seluruh warga desa Tias Bangun atas diterimanya kami berada ditengah-tengah mereka selama bulan ramadhan ini. Ucapan permintaan maaf juga tak luput kusampaikan atas segala perbuatan, ucapan, sikap dan segala tindakan kami selama berada di desa ini. Tak terasa air mata merembes membasahi pipiku. 

Usai menyampaikan kata-kata terakhir itu, giliran Bapak kepala desa yang maju untuk menyampaikan beberapa hal kepadaku dan teman-temanku yang lain. Beliau mengucapkan rasa terima kasihnya kepadaku dan teman-temanku karena telah mengamalkan ilmu agama di desanya. Jarang sekali anak-anak muda yang prihatin terhadap agamanya sendiri, terlebih yang menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren. Beliau juga memberikan motivasi kepada warga desanya agar kelak memondokkan anak-anaknya agar menjadi insan yang terdidik baik dari segi dunia maupun akhirat.

Setelah Bapak kepala desa selesai menyampaikan sambutannya, aku dan teman-temanku bersalam-salaman dan berpelukan dengan seluruh warga desa. Mohon pamit diri untuk kembali ke Metro. Tak lupa juga aku dan teman-temanku berpamitan dengan tuan rumah dan para anggota keluarganya yang selama bulan ramadhan ini banyak memfasilitasi kami untuk berdakwah. Untuk terakhir kalinya, kami sempat mengabadikan kenangan melaui foto bersama sebagai kenangan terakhir sekaligus perpisahan. Rasa suka dan duka menyelimui suasana desa Tias bangun. Akhirnya air mata ini tak kuasa kubendung.

Dalam perjalanan ke Metro, kesedihan masih menghinggapiku dan teman-temanku. Ingin rasanya kembali ke desa tersebut. Karena sebagian kecil kisah hidupku sudah tertanam disana. Akhirnya aku dan seluruh teman-temanku yang tersebar di berbagai kecamatan di kabupaten Lampung Tengah, telah kembali lagi ke pondok pesantren.  Setibanya disana kami pun langsung berbagi pengalaman. Suka dan duka kami curahkan bersama. Kisah-kisah yang berbeda dan menarik selama bulan ramadhan di desa tempat kami mengabdi, tak luput diperbincangkan. Ramadhan kali ini sungguh sangat berbeda. Dan aku pun siap untuk menyambut datangnya hari kemenangan.

-Selesai-

Metro, 20 Mei 2012
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar