*Cerpen ini menjadi juara 1 dalam lomba menulis cerpen tema jilbab dalam rangka Milad Ke-15th LDK Al-Ishlah STAIN Jurai Siwo Metro-Lampung, 14 April 2013 lalu.
Siang itu, matahari di langit sekolah tampak
merah menyala. Debu-debu yang beterbangan menambah sesaknya suasana siang yang
terik. Namun tidak pada segerombolan remaja putri yang berkumpul di masjid
sekolah mereka. Di masjid sederhana itu mereka membincangkan tentang Islam,
tentang persiapan mereka menghadapi Ujian Nasional juga cita-cita dan harapan
mereka setelah lulus dari SMA. Ditemani seorang Murobbiyah[1],
mereka berbincang penuh persaudaraan. Wajah-wajah berseri penuh kebahagian
berbinar tampak indah. Meskipun mereka berada ditingkat akhir sekolah, tetap saja
aktivitas halaqah[2]
tak akan pernah
mereka tinggalkan.
mereka tinggalkan.
“Akhwatifillah[3],
Alhamdulillah antunna[4]
telah mempersiapkan Ujian Nasional dengan baik. Selain berusaha, yang penting
juga adalah banyak berdoa dan hasil akhirnya serahkan semuanya pada Allah saja,”
Ujar Sang Murobbiyah menyemangati.
“Terus kira-kira setelah lulus nanti akan lanjut
kemana?” Tanya Sang Murobbiyah.
“Kalau aku akan lanjut ke UI Mbak,” Celetuk
Zainab si gembul yang disambut riuh sahabat-sahabatnya.
“Aku ke UGM,” Sambung
Annisa.
“Kalau aku lanjut ke ITB Mbak,” Sarah tak mau kalah.
“Kalau aku ingin lanjut ke UI juga
Mbak,” Ujar Aisyah sambil membenahi jilbab putihnya yang lebar kemudian diamini
oleh Zainab.
“Syukur Alhamdulillah kalau gitu,
antunna harus punya cita-cita, karena sebagai seorang muslim, kita harus
mempunyai tujuan dalam hidup ini.” Kembali Sang Murobbiyah menyemangati
yang membuat adem hati mereka. Akhirnya, lantunan doa kafaratul majelis menutup pertemuan halaqoh di hari yang hampir sore itu.
Ujian Nasional tinggal satu minggu lagi, para siswa kelas tiga sudah mulai diliburkan dari aktivitas belajar di sekolah. Hari tenang ini
digunakan Aisyah untuk benar-benar mempersiapkan Ujian Nasional dengan
baik. Sesekali ia membuka kumpulan soal SNMPTN[5]
yang ia pinjam dari murobbiyahnya. Ia sangat
terobsesi sekali masuk Perguruan Tinggi Negeri yang ia dambakan itu. Mimpi-mimpi itu
ia bawa hingga terlelap dalam tidurnya.
Pagi menjelang, sekawanan burung bernyanyi
dengan indahnya. Meramaikan suasana pagi yang sejuk nan permai. Seorang Bapak
berkacamata tebal sibuk mempersiapkan bekal untuk ia bawa ketempat kerjanya. Sudah
menjadi rutinitas bagi Bapak berkacamata tebal itu untuk bersiap mencari nafkah
buat keluarganya. Ia berpamitan pada istrinya yang senantiasa terbaring lemah
diatas kasur karena sakit yang dideritanya tiga tahun terakhir ini. Ia juga
berpamitan pada anak-anaknya, Aisyah, juga Nina, seorang gadis kecil yang masih
duduk dikelas tiga sekolah dasar. Tak seperti biasanya, kali ini Bapaknya berpesan
agar Aisyah selalu menjaga ibunya dan adiknya yang masih kecil. Dengan penuh takzim,
Aisyah mencium tangan kasar Bapaknya seraya berjanji akan selalu menjaga Ibu
dan adiknya.
Tak lama kemudian, Pak Joko tetangga sebelah
rumah mereka datang mengabarkan berita buruk kepada keluarga Aisyah. Bahwa
Bapaknya Aisyah ditabrak sebuah mobil yang melaju sangat kencang dengan
kecepatan tinggi. Bapak Aisyah tewas ditempat hingga darah bercucuran di sepanjang
jalan. Bapak Aisyah telah meninggal dunia.
Aisyah lemas seketika mendengar kabar itu.
Tengkuknya seperti tak bertulang. Ia tengok ibunya sudah tak sadarkan diri. Tidak
disangka pagi hari tadi Bapaknya berpamitan pada Aisyah untuk yang terakhir
kalinya. Allah mencabut setiap nyawa hamba-Nya bagi siapa saja yang Dia
kehendaki. Tak pandang usia, jabatan, waktu, dan tempat.
“Ya Rabb, kenapa secepat ini Engkau
mengambil Bapakku.” Tangis Aisyah meledak tak tertahankan. Air mata jatuh bercucuran.
Semasa dalam duka menghampiri Aisyah dan
keluarganya, ketiga sahabatnya, Zainab, Annisa, dan Sarah serta sesekali murobbiyahnya
datang untuk menghibur Aisyah. Tanpa rasa bosan mereka selalu menyemangati
Aisyah agar sabar menghadapi ujian ini dan tetap semangat untuk mempersiapkan
Ujian Nasional yang tinggal beberapa hari lagi. Tangis haru mewarnai diantara mereka.
Akhirnya tibalah hari Ujian Nasional itu.
Dengan perasaan campur-aduk Aisyah harus melaksanakan Ujian Nasional yang
berlangsung selama tiga hari. Ia harus kuat dan bersikap tegar dikala sedih dan
duka melandanya.
Selang satu bulan kemudian, seluruh siswa SMA
Persada dinyatakan lulus. Termasuk Aisyah dan ketiga sahabatnya. Euphoria
kegembiraan menyelimuti setiap siswa SMA Persada. Cita-cita dan harapan-harapan
yang berbeda akan segera mereka raih. Zainab yang berbadan gembul telah
diterima di UI. Annisa telah diterima di UGM, juga Sarah telah diterima di ITB
kampus dambaannya. Hanya Aisyah yang tak melanjutkan kuliah. Kini ia akan menjadi
tulang punggung keluarganya. Merawat Ibunya dan membiayai adiknya yang masih
sekolah.
Bekerja. Ya. Ia harus bekerja demi menghidupi
keluarganya. Namun ia sedikit ragu, pekerjaan apa yang akan ia dapatkan hanya
dengan bekal ijazah SMA. Pun tak ada skill yang ia punyai. Berbagai lowongan pekerjaan telah ia coba, namun tak ada satupun
yang menerimanya.
Suatu ketika ada lowongan pekerjaan menjadi karyawan di salah satu Mall didaerahnya. Mall
tersebut membutuhkan banyak karyawan mengingat Mall
tersebut masih baru. Segera ia mendaftar dan Alhamdulillah ia
diterima. Namun dengan syarat ia harus melepaskan jilbabnya ketika sedang bekerja.
Sulit baginya memenuhi persyaratan itu.
Hatinya berkecamuk, gundah gulana tak menentu.
Disatu sisi ia tak rela melepaskan jilbabnya hanya demi menerima tawaran
bekerja sebagai karyawan di Mall. Jilbab baginya adalah mahkota bagi
seorang wanita juga merupakan penutup aurat yang telah Allah dan Rasul-Nya perintahkan.
Disisi lain kondisi ekonominya sudah sangat mendesak, bahkan Nina adiknya sudah
empat bulan menunggak bayaran SPP di sekolahnya. Kalau bukan ia, siapa lagi
yang akan bekerja, mengingat kini ia menjadi tulang punggung keluarga
meneruskan perjuangan Bapaknya.
Akhirnya, dengan berat hati dan air mata yang
terus merembes tiada henti, ia terima tawaran itu. Bekerja sebagai karyawan Mall
tanpa mengenakan jilbab. “Rabbii, ampuni hamba.” Desahnya.
Matahari mulai beranjak dari
peraduan. Burung-burung berkicauan satu sama lain. Aisyah telah bersiap dengan penampilannya yang cantik. Ini merupakan hari
pertamanya
bekerja. Kemudian ia berpamitan pada Ibunya
dengan menggunakan jilbab putih. Kali ini ia harus berbohong pada Ibunya. Bahwa ketika bekerja ia
harus melepaskan jilbab. Sejauh jarak 300 meter dari rumahnya, ia telah bersiap
untuk melepaskan jilbabnya. Namun belum lagi ia lepaskan jilbabnya, sebuah
mobil menghantam dirinya dengan keras dari arah berlawanan.
Aisyah terkapar. Tubuhnya terbujur kaku disudut
jalan. Jilbab putihnya penuh akan tumpahan darah. Teh Ulya guru ngajinya
sewaktu kecil dengan sergap menolong Aisyah ketika melintas hendak ke pasar.
Sambil menangis dan berteriak, Teh Ulya menggedor-gedor kaca jendela mobil yang
telah menabrak Aisyah.
Seketika itu keluar seorang pemuda berjanggut
tipis dari mobilnya. Dengan wajah penuh penyesalan ia membantu warga membopong
tubuh Aisyah ke dalam mobilnya untuk dilarikan ke Rumah Sakit. Beserta Teh Ulya
dan Ibu Aisyah, mobil melaju dengan kencang menuju Rumah Sakit.
Aisyah dinyatakan koma oleh Dokter. Sudah
hampir sebulan Aisyah di Rumah Sakit. Dalam masa-masa koma itu, pemuda
berjanggut tipis selalu setia mendampingi dan membesarkan hati sang Ibu yang
ditemani anak bungsunya. Ia berjanji pada sang Ibu untuk bertanggungjawab
sepenuhnya. Menanggung seluruh biaya Rumah Sakit hingga Aisyah benar-benar dinyatakan
sembuh oleh Dokter.
Kedekatan sang Ibu terhadap pemuda berjanggut
tipis itu semakin hari semakin dekat. Baik sang Ibu maupun pemuda berjanggut
tipis saling berbagi cerita tentang kehidupannya. Tak pelak sang Ibu bercerita
tentang suaminya yang meninggal karena ditabrak mobil, tentang keinginan Aisyah
yang ingin melanjutkan kuliah, juga tentang
pekerjaan yang baru didapat anak sulungnya itu.
Pemuda berjanggut tipis itu pun berbagi cerita
pada sang Ibu. Tentang dirinya yang bekerja sebagai Direktur Bank Mu’amalat
didaerahnya. Juga menceritakan status dudanya yang telah mempunyai seorang anak
laki-laki berusia satu tahun. Istrinya meninggal ketika melahirkan anaknya itu.
Dan kini ia membutuhkan seorang istri untuk merawat dirinya dan anaknya.
Sejurus kemudian dengan hati gemetar ia
menyatakan keinginannya pada sang ibu untuk melamar Aisyah menjadi istrinya.
Menjadi ibu bagi anak laki-lakinya. Dan menemaninya sebagai pendamping hidup. Ia
juga berjanji akan merawat Sang ibu dan anak bungsunya. Sang Ibu diam tanpa
kata. Mencoba mengatur napasnya dan mengatakan bahwa sang Ibu menerima pemuda
berjanggut tipis itu sebagai menantunya. Pemuda berjanggut tipis itu bahagia
tak terperi. Tak terasa air mata jatuh dari pelupuknya.
Allah Maha Penyayang. Aisyah sadar dari komanya. Sembuh dari
sakitnya. Seketika itu ia langsung memeluk Ibunya dan menangis sejadi-jadinya
disaksikan oleh pemuda berjanggut tipis itu. Ia meminta maaf atas kesalahannya
dan berkata jujur atas kekhilafannya yang hendak melepaskan jilbab demi
menerima pekerjaan barunya. Ia sadar bahwa Allah masih sayang padanya, terbukti
Allah tidak ingin jilbabnya lepas dari kepalanya dan hingga kini ia masih bisa
melihat indahnya dunia.
Tanpa menunggu aba-aba, sang ibu mengatakan
bahwa pemuda berjanggut tipis yang telah menabrak Aisyah akan menanggung
seluruh biaya rumah sakit dan berniat untuk menikahi Aisyah serta akan
mewujudkan cita-cita Aisyah untuk melanjutkan kuliah di UI. Sejenak suasana
menjadi hening. Menunggu jawaban dari Aisyah. Dengan malu Aisyah menganggukkan
kepalanya hingga membuat jilbab putihnya meringsut. Bunga-bunga cinta bersemi menggelayuti
kedua insan itu.
-Selesai-
Note:
Tujuanku memosting cerpen ini adalah agar kita sama-sama mengambil hikmah dari cerita diatas (meskipun cerpen ini kubuat pada masa-masa galau menyusun skripsi) serta merujuk pada surat Al-A'raf:176 yang berbunyi “Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir.”
Last but not least, selamat membaca & tinggalkan komentar yang pedas dan saran yg membangun ya...
Jazakumullah Khoiron Katsiiron.
Especially for My Little Sister "Karlinda Yunita" in Yogyakarta
Yang sudah nunggu2 cerpen ini diposting, dan pesanku untukmu sbg kakak:
Keep Istiqomah dengan jilbabmu hingga kau benar-benar menjadi mar'atush sholihah, dakwah tak mengenal istirahat.. Yuuk kita perbaiki diri, keluarga, dan jama'ah...!
Awali semua aktivitas & amalan shalih dgn niat ikhlas, Insya Allah maka akan dipermudah menuju Jannah-Nya.
Bandar Lampung, 03 Oktober 2013
By: 'Abdi Allah yang Faqir
Ahmad Tarnudzy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar