04 Oktober 2013

Jilbab Putih Aisyah (Cerpen)


*Cerpen ini menjadi juara 1 dalam lomba menulis cerpen tema jilbab dalam rangka Milad Ke-15th LDK Al-Ishlah STAIN Jurai Siwo Metro-Lampung, 14 April 2013 lalu.




Siang itu, matahari di langit sekolah tampak merah menyala. Debu-debu yang beterbangan menambah sesaknya suasana siang yang terik. Namun tidak pada segerombolan remaja putri yang berkumpul di masjid sekolah mereka. Di masjid sederhana itu mereka membincangkan tentang Islam, tentang persiapan mereka menghadapi Ujian Nasional juga cita-cita dan harapan mereka setelah lulus dari SMA. Ditemani seorang Murobbiyah[1], mereka berbincang penuh persaudaraan. Wajah-wajah berseri penuh kebahagian berbinar tampak indah. Meskipun mereka berada ditingkat akhir sekolah, tetap saja aktivitas halaqah[2] tak akan pernah
mereka tinggalkan.

Akhwatifillah[3], Alhamdulillah antunna[4] telah mempersiapkan Ujian Nasional dengan baik. Selain berusaha, yang penting juga adalah banyak berdoa dan hasil akhirnya serahkan semuanya pada Allah saja,” Ujar Sang Murobbiyah menyemangati.

“Terus kira-kira setelah lulus nanti akan lanjut kemana?” Tanya Sang Murobbiyah.

“Kalau aku akan lanjut ke UI Mbak,” Celetuk Zainab si gembul yang disambut riuh sahabat-sahabatnya.

“Aku ke UGM,” Sambung Annisa.

“Kalau aku lanjut ke ITB Mbak,” Sarah tak mau kalah.

“Kalau aku ingin lanjut ke UI juga Mbak,” Ujar Aisyah sambil membenahi jilbab putihnya yang lebar kemudian diamini oleh Zainab.

“Syukur Alhamdulillah kalau gitu, antunna harus punya cita-cita, karena sebagai seorang muslim, kita harus mempunyai tujuan dalam hidup ini.” Kembali Sang Murobbiyah menyemangati yang membuat adem hati mereka. Akhirnya, lantunan doa kafaratul majelis menutup pertemuan halaqoh di hari yang hampir sore itu.

Ujian Nasional tinggal satu minggu lagi, para siswa kelas tiga sudah mulai diliburkan dari aktivitas belajar di sekolah. Hari tenang ini digunakan Aisyah untuk benar-benar mempersiapkan Ujian Nasional dengan baik. Sesekali ia membuka kumpulan soal SNMPTN[5] yang ia pinjam dari murobbiyahnya. Ia sangat terobsesi sekali masuk Perguruan Tinggi Negeri yang ia dambakan itu. Mimpi-mimpi itu ia bawa hingga terlelap dalam tidurnya.

Pagi menjelang, sekawanan burung bernyanyi dengan indahnya. Meramaikan suasana pagi yang sejuk nan permai. Seorang Bapak berkacamata tebal sibuk mempersiapkan bekal untuk ia bawa ketempat kerjanya. Sudah menjadi rutinitas bagi Bapak berkacamata tebal itu untuk bersiap mencari nafkah buat keluarganya. Ia berpamitan pada istrinya yang senantiasa terbaring lemah diatas kasur karena sakit yang dideritanya tiga tahun terakhir ini. Ia juga berpamitan pada anak-anaknya, Aisyah, juga Nina, seorang gadis kecil yang masih duduk dikelas tiga sekolah dasar. Tak seperti biasanya, kali ini Bapaknya berpesan agar Aisyah selalu menjaga ibunya dan adiknya yang masih kecil. Dengan penuh takzim, Aisyah mencium tangan kasar Bapaknya seraya berjanji akan selalu menjaga Ibu dan adiknya.

Tak lama kemudian, Pak Joko tetangga sebelah rumah mereka datang mengabarkan berita buruk kepada keluarga Aisyah. Bahwa Bapaknya Aisyah ditabrak sebuah mobil yang melaju sangat kencang dengan kecepatan tinggi. Bapak Aisyah tewas ditempat hingga darah bercucuran di sepanjang jalan. Bapak Aisyah telah meninggal dunia.

Aisyah lemas seketika mendengar kabar itu. Tengkuknya seperti tak bertulang. Ia tengok ibunya sudah tak sadarkan diri. Tidak disangka pagi hari tadi Bapaknya berpamitan pada Aisyah untuk yang terakhir kalinya. Allah mencabut setiap nyawa hamba-Nya bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Tak pandang usia, jabatan, waktu, dan tempat.

Ya Rabb, kenapa secepat ini Engkau mengambil Bapakku.” Tangis Aisyah meledak tak tertahankan. Air mata  jatuh bercucuran.

Semasa dalam duka menghampiri Aisyah dan keluarganya, ketiga sahabatnya, Zainab, Annisa, dan Sarah serta sesekali murobbiyahnya datang untuk menghibur Aisyah. Tanpa rasa bosan mereka selalu menyemangati Aisyah agar sabar menghadapi ujian ini dan tetap semangat untuk mempersiapkan Ujian Nasional yang tinggal beberapa hari lagi. Tangis haru mewarnai diantara mereka.

Akhirnya tibalah hari Ujian Nasional itu. Dengan perasaan campur-aduk Aisyah harus melaksanakan Ujian Nasional yang berlangsung selama tiga hari. Ia harus kuat dan bersikap tegar dikala sedih dan duka melandanya.

Selang satu bulan kemudian, seluruh siswa SMA Persada dinyatakan lulus. Termasuk Aisyah dan ketiga sahabatnya. Euphoria kegembiraan menyelimuti setiap siswa SMA Persada. Cita-cita dan harapan-harapan yang berbeda akan segera mereka raih. Zainab yang berbadan gembul telah diterima di UI. Annisa telah diterima di UGM, juga Sarah telah diterima di ITB kampus dambaannya. Hanya Aisyah yang tak melanjutkan kuliah. Kini ia akan menjadi tulang punggung keluarganya. Merawat Ibunya dan membiayai adiknya yang masih sekolah.

Bekerja. Ya. Ia harus bekerja demi menghidupi keluarganya. Namun ia sedikit ragu, pekerjaan apa yang akan ia dapatkan hanya dengan bekal ijazah SMA. Pun tak ada skill yang ia punyai. Berbagai lowongan pekerjaan telah ia coba, namun tak ada satupun yang menerimanya.

Suatu ketika ada lowongan pekerjaan menjadi karyawan di salah satu Mall didaerahnya. Mall tersebut membutuhkan banyak karyawan mengingat Mall tersebut masih baru. Segera ia mendaftar dan Alhamdulillah ia diterima. Namun dengan syarat ia harus melepaskan jilbabnya ketika sedang bekerja. Sulit baginya memenuhi persyaratan itu. 

Hatinya berkecamuk, gundah gulana tak menentu. Disatu sisi ia tak rela melepaskan jilbabnya hanya demi menerima tawaran bekerja sebagai karyawan di Mall. Jilbab baginya adalah mahkota bagi seorang wanita juga merupakan penutup aurat yang telah Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Disisi lain kondisi ekonominya sudah sangat mendesak, bahkan Nina adiknya sudah empat bulan menunggak bayaran SPP di sekolahnya. Kalau bukan ia, siapa lagi yang akan bekerja, mengingat kini ia menjadi tulang punggung keluarga meneruskan perjuangan Bapaknya.

Akhirnya, dengan berat hati dan air mata yang terus merembes tiada henti, ia terima tawaran itu. Bekerja sebagai karyawan Mall tanpa mengenakan jilbab. “Rabbii, ampuni hamba.” Desahnya.

Matahari mulai beranjak dari peraduan. Burung-burung berkicauan satu sama lain. Aisyah telah bersiap dengan penampilannya yang cantik. Ini merupakan hari pertamanya bekerja. Kemudian ia berpamitan pada Ibunya dengan menggunakan jilbab putih. Kali ini ia harus berbohong pada Ibunya. Bahwa ketika bekerja ia harus melepaskan jilbab. Sejauh jarak 300 meter dari rumahnya, ia telah bersiap untuk melepaskan jilbabnya. Namun belum lagi ia lepaskan jilbabnya, sebuah mobil menghantam dirinya dengan keras dari arah berlawanan.

Aisyah terkapar. Tubuhnya terbujur kaku disudut jalan. Jilbab putihnya penuh akan tumpahan darah. Teh Ulya guru ngajinya sewaktu kecil dengan sergap menolong Aisyah ketika melintas hendak ke pasar. Sambil menangis dan berteriak, Teh Ulya menggedor-gedor kaca jendela mobil yang telah menabrak Aisyah.

Seketika itu keluar seorang pemuda berjanggut tipis dari mobilnya. Dengan wajah penuh penyesalan ia membantu warga membopong tubuh Aisyah ke dalam mobilnya untuk dilarikan ke Rumah Sakit. Beserta Teh Ulya dan Ibu Aisyah, mobil melaju dengan kencang menuju Rumah Sakit.

Aisyah dinyatakan koma oleh Dokter. Sudah hampir sebulan Aisyah di Rumah Sakit. Dalam masa-masa koma itu, pemuda berjanggut tipis selalu setia mendampingi dan membesarkan hati sang Ibu yang ditemani anak bungsunya. Ia berjanji pada sang Ibu untuk bertanggungjawab sepenuhnya. Menanggung seluruh biaya Rumah Sakit hingga Aisyah benar-benar dinyatakan sembuh oleh Dokter.

Kedekatan sang Ibu terhadap pemuda berjanggut tipis itu semakin hari semakin dekat. Baik sang Ibu maupun pemuda berjanggut tipis saling berbagi cerita tentang kehidupannya. Tak pelak sang Ibu bercerita tentang suaminya yang meninggal karena ditabrak mobil, tentang keinginan Aisyah yang ingin melanjutkan  kuliah, juga tentang pekerjaan yang baru didapat anak sulungnya itu.

Pemuda berjanggut tipis itu pun berbagi cerita pada sang Ibu. Tentang dirinya yang bekerja sebagai Direktur Bank Mu’amalat didaerahnya. Juga menceritakan status dudanya yang telah mempunyai seorang anak laki-laki berusia satu tahun. Istrinya meninggal ketika melahirkan anaknya itu. Dan kini ia membutuhkan seorang istri untuk merawat dirinya dan anaknya.

Sejurus kemudian dengan hati gemetar ia menyatakan keinginannya pada sang ibu untuk melamar Aisyah menjadi istrinya. Menjadi ibu bagi anak laki-lakinya. Dan menemaninya sebagai pendamping hidup. Ia juga berjanji akan merawat Sang ibu dan anak bungsunya. Sang Ibu diam tanpa kata. Mencoba mengatur napasnya dan mengatakan bahwa sang Ibu menerima pemuda berjanggut tipis itu sebagai menantunya. Pemuda berjanggut tipis itu bahagia tak terperi. Tak terasa air mata jatuh dari pelupuknya.

Allah Maha Penyayang. Aisyah sadar dari komanya. Sembuh dari sakitnya. Seketika itu ia langsung memeluk Ibunya dan menangis sejadi-jadinya disaksikan oleh pemuda berjanggut tipis itu. Ia meminta maaf atas kesalahannya dan berkata jujur atas kekhilafannya yang hendak melepaskan jilbab demi menerima pekerjaan barunya. Ia sadar bahwa Allah masih sayang padanya, terbukti Allah tidak ingin jilbabnya lepas dari kepalanya dan hingga kini ia masih bisa melihat indahnya dunia.

Tanpa menunggu aba-aba, sang ibu mengatakan bahwa pemuda berjanggut tipis yang telah menabrak Aisyah akan menanggung seluruh biaya rumah sakit dan berniat untuk menikahi Aisyah serta akan mewujudkan cita-cita Aisyah untuk melanjutkan kuliah di UI. Sejenak suasana menjadi hening. Menunggu jawaban dari Aisyah. Dengan malu Aisyah menganggukkan kepalanya hingga membuat jilbab putihnya meringsut. Bunga-bunga cinta bersemi menggelayuti kedua insan itu.

-Selesai-


[1] Seorang pembina disebut juga mentor atau ustadz/ah
[2] Sekumpulan orang yang ingin mempelajari dan mengamalkan Islam secara serius
[3] Saudara-saudara perempuanku seiman
[4] Kalian
[5] Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri



Note:
Cerpen diatas juga telah dibedah oleh kawan-kawan FLP Cabang Kota Metro-Lampung tgl 16 April 2013 lalu, alhasil ada sedikit revisi dari naskah yg aslinya (tanpa mengurangi esensial cerita).

Tujuanku memosting cerpen ini adalah agar kita sama-sama mengambil hikmah dari cerita diatas (meskipun cerpen ini kubuat pada masa-masa galau menyusun skripsi) serta merujuk pada surat Al-A'raf:176 yang berbunyiMaka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir.”

Last but not least, selamat membaca & tinggalkan komentar yang pedas dan saran yg membangun ya...
Jazakumullah Khoiron Katsiiron.


Especially for My Little Sister "Karlinda Yunita" in Yogyakarta
Yang sudah nunggu2 cerpen ini diposting, dan pesanku untukmu sbg kakak:
Keep Istiqomah dengan jilbabmu hingga kau benar-benar menjadi mar'atush sholihah, dakwah tak mengenal istirahat.. Yuuk kita perbaiki diri, keluarga, dan jama'ah...!
Awali semua aktivitas & amalan shalih dgn niat ikhlas, Insya Allah maka akan dipermudah menuju Jannah-Nya.
Bandar Lampung, 03 Oktober 2013
By: 'Abdi Allah yang Faqir
Ahmad Tarnudzy

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar