06 Oktober 2013

Kisah Dua Dunia

#Dunia "Menulis & Dakwah"



Buku adalah jendela dunia. Itulah kata sebuah pepatah. Sampai kapanpun buku menjadi salah satu sarana untuk menimba ilmu diantara sarana-sarana lainnya. Betapa sebuah buku menjadi tonggak sejarah bagi para penuntut ilmu terdahulu sampai dengan sekarang.

Kecintaanku pada buku berawal sejak bangku SMP. Mungkin itu suatu hal yang
terlambat, namun tidak bagiku. Karena itu menjadi awal bagiku mencintai buku sebagaimana aku mencintai diriku sendiri. Dan kecintaanku pada buku pun menjadi awal aku suka menulis. Ya, karena aktivitas menulis adalah kegiatan berbagi kepada orang lain. Karena hakikatnya menulis merupakan kegiatan menyampaikan informasi dan ilmu pengetahuan dari apa yang telah kita baca.


Membaca merupakan salah satu perintah Allah SWT terhadap hamba-hamba-Nya. Dalam Firman-Nya: “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhan-mulah Yang Maha Mulia. Yang Mengajar manusia dengan pena. Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5)

Meskipun buku yang aku sukai saat itu adalah buku komik. Sebuah jenis buku yang penuh dengan gambar dengan sedikit dialog dan tulisan. Sepele memang. Koleksi dari berbagai komik yang kumiliki saat itu terbilang banyak jumlahnya. Dan sebagian besar komik yang kumiliki berasal dari Negeri Matahari. Seperti Doraemon, Detective Conan, Captain Tsubasa, Shinchan dan lain-lain. 

Ketika aku beranjak ke SMA, kakakku yang juga mantan aktivis Rohis (Rohani Islam :Red) mengarahkanku untuk mengikuti kegiatan ekskul Rohis. Yang notabene aktivitas dan pembahasannya selalu tentang hal-hal yang berbau agama Islam. Akupun menuruti kemauannya. Tidak berhenti sampai disitu, kakakku selalu menyodorkan buku-buku Islam kepadaku dan meyuruhku untuk membacanya. Awalnya berat, karena buku-buku itu tak ada gambarnya sama sekali. Hanya goresan tinta hitam diatas kertas putih yang sangat membosankan. Namun lama-kelamaan aku menjadi terbiasa juga untuk membaca buku-buku tersebut.

Pada suatu ketika kakakku kembali menyodorkan sebuah buku yang sangat tebal. Dan buku tersebut ternyata adalah sebuah novel Islam. Novel Islam tersebut berjudul Ketika Cinta Bertasbih. Novel yang sangat tebal. Tak ada gambar satupun didalamnya. Melihatnya saja aku sudah enggan, apalagi jika disuruh membacanya.


Dek, coba dibaca novel ini. Kakak jamin gak akan nyesel setelah membacanya.” Pinta Kakakku sambil menyerahkan novel itu kepadaku.

“Iya deh.. Insya Allah.” Jawabku singkat dan kemudian mengulurkan tangan kanan dengan tidak bersemangat.

Tapi karena aku sudah mulai terbiasa membaca buku-buku yang tidak bergambar lagi, maka dengan sedikit keraguan aku mencoba untuk membaca novel tersebut. Subhanallah diluar dugaanku, aku mampu menamati novel setebal 477 halaman itu hingga tuntas. Bahkan aku penasaran dengan kelanjutan dari novel tersebut. Kemudian aku mencari novel-novel yang sejenis untuk kubaca kembali. Dari sinilah aku lebih tertarik membaca novel-novel tebal yang bernafaskan Islam. Berbagai judul novel Islam yang telah kubaca diantaranya adalah Dwilogi Ketika Cinta Bertasbih, Ayat-ayat Cinta, Dalam Mihrab Cinta, Tetralogi Laskar Pelangi, Trilogi Negeri 5 Menara dan Ketika Mas Gagah Pergi. Sampai buku-buku non-fiksi pun tak luput kubaca. 

Dan ketika pendidikanku memasuki jenjang yang lebih tinggi yaitu perguruan tinggi, maka kesukaanku membaca semakin menjadi. Karena memang ada sebuah tuntutan juga sebagai mahasiswa untuk membaca berbagai literatur dan referensi untuk bahan-bahan mata kuliah. Selain itu karena jiwaku sudah melekat dengan dakwah saat masa sekolah dulu mengikuti berbagai kegiatan di Rohis, maka di kampus aku terlibat aktif di Lembaga Dakwah Kampus. Ibaratnya adalah sebuah panggilan jiwa. Selain karena program studi yang kuambil adalah Pendidikan Agama Islam, maka dari sinilah aku lebih serius untuk mengabdikan diriku di dunia dakwah.

Di dunia dakwah kampus yang semakin hari aku geluti, disini aku merasakan atmosfer yang lebih berbeda saat bergelut pada dunia dakwah saat di sekolah dulu. Perbedaannya sangat menonjol sekali. Ketika dakwah sekolah hanya terbatas pada internal sekolah, maka dakwah di kampus lebih luas lagi ranahnya. Tidak hanya di internal kampus, tapi aku bisa merasakan dunia dakwah di eksternal kampus. Mendapatkan dan berbagi pengalaman dengan teman-teman sesama aktivis dakwah kampus yang berada diluar.

Dan dari dunia dakwah ini jugalah aku akhirnya terjun ke dunia menulis. Sebuah dunia baru bagi hidupku. Sangat mengasyikkan sekali berada di dalamnya. Awal aku masuk ke dunia menulis, saat itu aku melihat mading (majalah dinding :Red) di kampusku. Disana terpampang sebuah pamflet yang berisikan acara bedah penulis. Menghadirkan seorang penulis yang fenomenal di Indonesia dan sudah tak asing lagi bagiku. Karena karya-karyanya hampir semua telah kubaca. Salah satunya yaitu novel Mega Best Seller Dwilogi Ketika Cinta Bertasbih. Dia adalah Habiburrahman El-Shirazy.


Dengan semangat ’45 aku nantikan acara bedah penulis yang diadakan oleh Cabang Forum Lingkar Pena yang ada didaerahku. Sebuah klub (organisasi) penulis yang beranggotakan orang-orang yang suka menulis dan ingin jadi penulis. Klub yang didirikan oleh Helvy Tiana Rosa ini, sudah tersebar di seluruh Indonesia bahkan diluar negeri karena kiprahnya di dunia menulis dan juga menghasilkan orang—orang yang turut membanggakan Bangsa kita ini. 

Akhirnya hari yang dinantikan tiba juga. Acara bedah penulis bersama Kang Abik (panggilan sapaan Habiburrahman El-Shirazy) berlangsung dengan sangat meriah. Dikesempatan ini pulalah beliau mempromosikan novel terbarunya yaitu Bumi Cinta. Ada rasa iri yang menyelinap dalam hatiku. Kapan aku bisa mengikuti jejak beliau. Berkarya dengan menulis yang banyak mencerahkan ummat termasuk diriku.

Selanjutnya, moderator membuka beberapa sesi untuk tanya jawab kepada hadirin yang datang. Hmm.. tapi sayang aku yang berada di bagian belakang tak kebagian untuk bertanya. Tapi tak mengapa bagiku. Banyak hal yang kudapati dari seorang Habiburrahman El-Shirazy. Kegigihannya menjadi seorang penulis membawanya menjadi seorang yang berguna bagi orang lain. Aku pun langsung teringat hadits Nabi SAW yang berbunyi, “Khoirunnaas anfu ‘ahum linnaas.” Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Tiba-tiba muncul dalam benakku untuk mengikuti jejaknya menjadi sorang penulis agar bisa bermanfaat bagi orang lain juga. Entahlah kapan semua itu terwujud. Hanya sebuah mimpi.

Tanpa disangka-sangka akhirnya aku bergabung di Forum Lingkar Pena atas saran dan ajakan temanku sesama aktivis dakwah. Di organisasi penulis inilah semangat untuk menulis muncul dari dalam diriku. Berawal dari kegemaranku membaca novel, timbullah rasa keinginanku untuk mencoba mulai menulis.

Pada suatu hari iseng-iseng aku menulis sebuah opini di salah satu koran terbesar di Lampung. Yaitu Lampung Post atau yang biasa disingkat Lampost. Karena latar belakang pendidikanku Agama Islam, maka kutuliskan didalam opini tersebut terkait tentang ajaran Agama Islam yaitu sunnah-sunnah Nabi SAW yang kini banyak ditinggalkan oleh ummatnya. Dibungkus dengan judul Teguran Sang Khotib akhirnya tulisan opiniku dimuat bertepatan pada hari jum’at. Kegembiraan membuncah didalam dadaku. Tulisan pertamaku dimuat di koran. Sujud syukur kulakukan.

Kini aku berniat dan mengabdikan diriku untuk senantiasa menulis yang berkaitan dengan agamaku. Ketika aku ditanya oleh  Ketua Forum Lingkar Pena yang ada didaerahku apa tujuanku menulis, maka dengan mantap aku menjawab: “Aku menulis untuk berdakwah.”
 Ya, dua dunia itu aku sambungkan menjadi satu. Dunia dakwah membawaku ke Dunia Menulis. Meskipun dengan tulisan, tapi aku yakin bisa memberikan sedikit kontribusi kepada ummat. Apalagi dunia Islam kini banyak dilecehkan dengan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

-Selesai-


Metro, 25 September 2012
                                                                   By: Ahmad Tarnudzi (Based On True Story)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar