25 Desember 2013

Sejuta Kasih Sayang Ibu

Jum’at barokah!!! Pada waktu itu merupakan hari jumat tanggal 26 oktober 2012, terik matahari begitu menyengat tubuhku. Usai menunaikan sholat jum’at di masjid muslimin pasar pagi Kotabumi, aku bergegas pulang kerumah. Dan dalam perjalanan menuju rumah yang memang masjid muslimin dan rumahku adalah komplek pasar pagi, jadinya tak terelakkan lagi berkerumunan dengan orang-orang yang berada dipasar ini. Tentunya dengan berbagai latar belakang yang berbeda, seperti suku, bahasa, agama, dan
status sosial bercampur menjadi satu.

Tapi nampaknya hari ini berbeda dengan hari-hari biasanya. Hari ini kondisi pasar tampak begitu padat dan ramai sekali. Anyaman daun kelapa yang berbentuk ketupat berwarna hijau bertebaran dimana-mana. Tampak juga hewan-hewan ternak seperti kambing dan ayam menambah suasana riuh kondisi pasar yang banjir akan manusia. Tampak juga bunga-bunga yang berbagai macam warna ada merah, kuning, hijau, putih, dll yang diletakkan diatas tampah yang wanginya terkalahkan dengan bau pasar ini. Belum lagi berbagai macam kendaraan yang berlalu lalang disekitar pasar. Ada mobil, motor, sepeda dan becak yang ramah lingkungan.

Mengapa kondisi pasar begitu padat hari ini? Jawabannya adalah karena besok adalah Hari Raya Idul Adha atau biasa disebut dengan Hari Raya Kurban atau Lebaran Haji. Tentu saja, tradisi menjelang Lebaran Haji apalagi jika Lebaran Puasa bagi sebagian masyarakat Indonesia menjadi suatu tradisi untuk memborong berbagai aneka barang-barang serba baru. Mulai dari baju, celana, sendal, sarung, mukena, kopiah, jilbab, hordeng, sarung bantal, hingga keset pun tak luput diganti dengan yang baru. Belum lagi masalah makanannya. Ketika lebaran tiba maka ketupat dan opor ayam menjadi menu wajib yang harus terhidang diatas meja.

Lebaran Haji tahun 2012 ini memang sudah kuniatkan untuk berlebaran dirumah. Disamping kampus dan pondokku yang berada di Metro juga meliburkan, maka tak ada alasan untuk tidak pulang ke kampung halaman tercinta ini, yaitu Kotabumi. Apalagi kini aku sudah menginjak semester 7 sudah sedikit mata kuliah yang harus diambil. Hanya terfokus pada pembuatan proposal skripsi dan seminar.

Sesampainya dirumah, ibuku menyambut didepan pintu. Dengan gamis indahnya dibalut dengan jilbab yang sepadan kulemparkan senyum pada ibuku tercinta. Setelah mendekat segera kukecup tangan kanannya. Kasar. Memang ibuku adalah pekerja keras. Kesehariannya adalah berjualan nasi diwarung pasar, lebih tepatnya kusebut toko. Karena warung yang digunakan ibuku sekarang untuk berdagang adalah bekas toko jahit pamanku dulu yang kini dihibahkan sepenuhnya pada keluargaku. Kerja keras ibuku karena ia sudah terbangun sejak sebelum sang surya terbit dari ufuk timur. Ia memasak nasi yang cukup banyak sampai termos besar nasi terisi penuh. Belum lagi meracik bumbu-bumbu dapur, merebus telur, memotong berbagai macam sayuran, dll. Ketika pagi menjelang ibuku telah bersiap menuju pasar untuk membeli bahan-bahan makanan yang akan dijual. Ini semua ia lakoni sudah menginjak 23 tahun sesuai dengan umurku sekarang. Subahanallah. Pekerjan ibuku sedikit menjadi lebih ringan karena dibantu dengan dua anaknya yang perempuan ditambah merekrut tenaga kerja dua orang, satu untuk membantu dirumah, yang satu lagi membantu ditoko.

Aku & Ibuku

“Ayo ji siap-siap kita berangkat ke Tanjung Bintang” Ujar ibuku sambil bersolek seadanya didepan cermin kecil tempat wadah bedaknya.

“Mau sekarang mak berangkatnya?” Tanyaku meyakinkan.

“Iya ji, nanti kalau kesorean mobil ke arah Tanjung Bintang udah gak ada lagi.” Jawabnya.

 “Siap mak, tunggu sebentar ya uji juga mau siap-siap dulu.” Pungkasku sambil berlalu menuju loteng (kamar tingkat: Red.

“Iya sana siap-siap dulu.” Katanya sambil mengambil tas berukuran sedang kemudian memasukkan beberapa potong pakaian dan berbagai peralatan “khas wanita”nya.

Lebaran Haji tahun ini, ibuku ingin berlebaran di Tanjung Bintang. Hanya satu alasannya, ibuku ingin sesering mungkin dekat dengan ibunya ibuku yaitu nenekku. Nenekku satu-satunya dari keluarga ibuku. Suaminya nenekku yaitu kakek sudah lama meninggal dunia. Sedangkan kakek dan nenek dari keluarga ayahku sudah lebih lama meninggal dunia. Maka dari itu ibuku ingin mengabdi dengan nenekku dimasa-masa tua nenekku. Dan umur seseorang tidak ada yang tahu sampai kapan akan bertahan. Maka dari itu sewaktu-waktu jika Allah mencabut nyawa nenekku, ibuku ada disampingnya. Itu keinginan ibuku.

Kakak-kakak perempuanku yang ada dirumah tidak bisa ikut karena suatu hal yang tidak bisa ditinggalkan. Alhasil, aku mengajukan diri untuk menemani ibuku berlebaran di Tanjung Bintang. Lagian aku sudah sangat lama tidak berjumpa dengan nenekku semenjak nenekku divonis jatuh sakit pada tahun 2009 belum lama sesudah hari pernikahan Atun sepupuku. Entah sakit apa namanya. Berawal dari jatuh ditengah malam dirumahnya di Serang Banten. Semenjak peristiwa jatuhnya nenekku itu akibatnya sekarang ia menderita lupa ingatan. Apakah ini karena akibat jatuh itu atau karena memang sudah waktunya karena masa-masa tua yang dilaluinya? Wallahu’alam.

Setelah dirasa semua sudah siap, akhirnya aku dan ibuku berangkat juga menuju Tanjung Bintang. Sambil menenteng bawaan yang lumayan banyak, ada tas berisi pakaianku dan ibuku, juga ada sedikit oleh-oleh khas Kotabumi buat orang-orang Tanjung Bintang. Apakah itu? Oleh-oleh khasnya adalah Tekwan. Yaitu makanan berkuah sejenis pempek rasa ikan yang ditambah mie soun, bawang goreng, daun bawang, kecap dan sambal hijau. Enak dimakan ketika kondisi masih panas atau hangat.

Perjalanan diawali dengan menaiki angkot berwarna kuning, kemudian berhenti dipemberhentian bus puspa jaya jurusan Kotabumi - Karang. Dengan tidak menunggu lama akhirnya bus melaju meninggalkan kota kelahiranku ini. Kotabumi Bettah. Bus melaju dengan kencang membawa kami keluar kota, dari Kota Bumi ke Kota Bandar Lampung/Karang.

Dengan nyaman akhirnya aku dan ibuku duduk dibangku bagian belakang. Kami duduk bersampingan. Dari pada bengong dan tidur, lebih baik kuajak ibuku ngobrol. Berbagai topik pembicaraan tentang suasana bus, kondisi cuaca, oleh-leh yang kami bawa dan kabar perjalanan kuliah dan pondokku menjadi bahan perbincangan yang ringan. Hingga akhirnya kulihat ibuku terlelap. Mungkin ibuku capek atau terbawa suasana nyaman di bus ber-AC ini. Diam-diam kutekuri guratan wajah ibuku yang kian menua. Tersimpan sejuta rasa kasih sayang yang tak terhingga sepanjang masa didalamnya. Berpuluh-puluh tahun sudah kau mengurusi anak-anakmu yang delapan ini. Dari mulai lahir, anak-anak, remaja, dewasa bahkan sampai jenjang pernikahan. Hingga telah mempunyai sebelas cucu dari lima anak yang sudah menikah. Tak terbayang begitu payah perjuanganmu mengurusi kami sebagai anakmu. Tak jarang kami membuatmu marah, kesal bahkan menangis. Itu semua karena tingkah laku kami. Berapapun jasa yang kami berikan tak akan pernah bisa membalas jasa-jasamu. Meskipun dengan uang dan harta yang melimpah sekalipun. Jadi teringat sebuah lagu lama yang dulu sering kunyanyikan bersama teman-teman TK Muslimin. “Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia.” Itulah sebuah gambaran kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.

Tiba-tiba mata ibuku terbuka. Segera kualihkan pandanganku darinya. Akhirnya obrolan-obrolan ringan kami lanjutkan kembali. Hingga obrolan yang cukup serius tak pelak kami bincangkan pula. Mulai dari kondisi satu persatu anak-anak ibuku. Ayuk dengan kondisi keluarganya seperti apa, kakak juga kabar terbarunya dengan keluarganya seperti apa, ada Teh Enong hubungan dengan keluarga suaminya seperti apa, Teh Iyung juga bagaimana kondisi dengan keluarganya seperti apa, dan kakak laki-lakiku Kak Dori juga seperti apa kondisinya dengan keluarganya di Jogja sana. Semua itu dijelaskan panjang lebar dengan ibuku. Tak ketinggalan Teh Ria juga Nita, anaknya yang paling bungsu yang kini telah menjadi mahasiswa baru semester satu di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta turut diperbincangkan.

Ketika bus melewati sebuah rumah sakit di daerah Bandar Jaya, celetuk kukatakan pada ibu bahwa aku pernah kerumah sakit itu. Waktu itu menjenguk bapak teman kuliahku. Bapaknya temanku itu sakit dan hampir seminggu dirawat disana. Dan ketika dibawa pulang kerumah tak lama kemudian bapaknya temanku itu menghembuskan nafas terakhir. Innalillahi Wainnailaihi Rooji’uun.

Untuk menghubungkan cerita Bapak temanku yang meninggal, maka tak ada salahnya kutanyakan ibuku cerita tentang meninggalnya bapakku seperti apa. Dengan runut ibuku menceritakan kematian bapakku. Bapakku dulu orangnya sehat sekali, gagah dan tak nampak ada tanda-tanda sakit melandanya. Namun dulu ia perokok aktif dan suka sekali minum kopi. Hanya saja Allah berkehendak lain. Bapakku mengidap penyakit sesak nafas yang kata ibuku kini diwarisi kepada Teh Enong. Awalnya bapakku dirujuk ke puskesmas Kotabumi, namun kondisinya yang makin parah akhirnya bapakku dibawa ke rumah sakit Bumi Waras Bandar Lampung. Dan akhirnya pada bulan januari 1996 bapakku meninggal dunia. Dengan meninggalkan satu orang istri dan delapan anaknya yang masih kecil-kecil. Kuingat sekali kami selaku anak-anaknya dikumpulkan dikamar belakang. Aku yang hanya seorang bocah kecil berumur 6 tahun tak mengerti apa-apa dengan keadaan sekitar rumahku yang sangat ramai. Kulihat ibuku menangis sejadi-jadinya. Kulihat juga ayukku yang paling tua sangat sedih sekali yang pada waktu itu ayukku masih Madrasah Aliyah (setara SMA) dan mondok di Darussalam Tegineneng. Dan ketika aku beranjak dewasa baru kusadari bahwa aku tak punya bapak. Pernah kumenangis sendirian karena iri melihat teman-temanku yang punya bapak. Sedangkan akau tak punya bapak dan tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang bapak.

Aku juga iseng bertanya pada ibuku tentang awal bertemu dengan bapakku. Dari mulai bertemu hingga akhirnya menikah. Ibuku mengatakan bahwa bapak berasal dari Palembang kemudian hijrah ke Lampung tepatnya Kotabumi. Saat itu ibuku telah tinggal terlebih dahulu di Kotabumi. Menumpang tinggal dirumah Abah Khamsin (pamanku). Rumahnya di Rawaweh, namun bukan rumah yang sekarang keluargaku tinggali. Namun rumah Mang Ijul (tukang jahit) rumah yang berada dibelakang rumah keluargaku sekarang. Sedangkan bapakku tinggalnya dirumah Bi Isa (adik bapakku yang kini juga telah meninggal dunia). Nama tempatnya Rawa. Karena memang kata warga yang sudah sepuh dilingkungan rumahku, desaku dulu merupakan daerah rawa (hutan berair).

Jadi antara rumah Abah Khamsin dan Bapakku tidak jauh. Hanya berjarak beberapa meter saja. Mungkin karena faktor rumah yang berdekatan maka bapak dan ibuku bisa menikah. Kata orang sih cinta itu timbul karena kebiasaan. Biasa komunikasi, bertemu, atau sekadar ber-say hallo. Katanya juga dulu bapakku dan ibuku sering pergi bareng gitu. Nge-date lah kalau bahasa sekarang. Karena rumah mereka masing-masing yang dekat dengan pasar. Bahkan sering bapak dan ibuku pergi ke bioskop nonton bareng film Rhoma Irama. Tahu sendirilah kalau jaman dulu Rhoma Irama banyak digandrungi oleh kawula muda saat itu. Termasuk bapak dan ibuku. Hehehe...

Dan akhirnya bapakku menikahi ibuku yang berstatus janda tanpa memiliki anak. Meskipun ibuku telah janda terlebih dahulu, tapi umurnya masih belasan tahun kala itu. Tidak lama dari pernikahan antara bapak dan ibuku itu, ibuku diboyong bapakku ke kampung halamannya di Palembang. Namun akhirnya kembali lagi ke Lampung atas permintaan Abah Khamsin agar berkehidupan rumah tangga di Lampung saja. Dan menurut cerita ibuku, Abah Khamsin banyak berjasa dalam awal-awal kehidupan berumah tangga dengan bapakku. Rumah dikontrakkan, toko jahit milik Abah Khamsin diberikan cuma-cuma begitu saja untuk ibu dan bapakku sebagai modal untuk berbisnis. Maka dipilihlah usaha dagang nasi ditoko bekas toko jahit itu. Sangking ibuku merasa banyak berhutang budi pada Abah Khamsin terhadap keluargaku, maka dipastikan hampir setiap lebaran keluargaku bersilaturahim menemui Abah Khamsin di Way Abung, Tulang Bawang. Lebih dari itu, ketika anak-anak ibuku mau menikah, maka harus minta restu dulu kepada Abah Khamsin. Ketika Abah Khamsin sudah merestui, maka ibuku pun merestuinya.

Bapak dan ibuku mempunyai sembilan anak. Namun yang satu meninggal ketika masih bayi. Alhasil sekarang tinggal delapan. Lima yang sudah menikah dan tiga yang belum. Kedelapan anak itu adalah Aniwati yang kami panggil Ayuk (Mbak/kakak perempuan bahasa Palembang), Bustomi yang kami panggil Kakak, Nurasih yang kami panggil Enong, Yuliana yang kami panggil Iyung, Dori Saputra yang kami panggil Dori, Riana Agustina yang kami panggil Ria, Ahmad Tarnudzi yang biasa dipanggil Uji, dan terakhir Karlinda Yunita yang kami panggil Nita. Dari kelima anak yang sudah menikah menghasilkan sebelas cucu. Jadinya aku mempunyai sebelas keponakan yang lucu-lucu dan selalu kurindukan tingkah polah mereka.

Perjalanan dari Kotabumi menuju Tanjung Bintang memakan waktu kurang lebih 4 jam. Lumayan lama, apalagi ditambah dengan perjalanan kearah Tanjung Bintang yang jalannya rusak parah. Sejenak kuberfikir, apakah dari pemerintah provinsi, kota atau kabupaten tidak ada niat untuk membenahi jalan-jalan yang rusak parah dan berlubang sana sini sehingga fatalnya sewaktu-waktu dapat membuat kecelakaan terjadi. Akhirnya akupun membandingkan dengan Kota Metro tempatku menimba ilmu, disana jalannya sangat halus sekali. Belum lagi jalan yang beraspal rusak, sudah diperbaiki jadinya makin tambah halus. Lagian Kota Metro juga merupakan kota kecil jadi wajar APBD-nya besar tidak sebanding dengan luas wilayah daerahnya yang kecil.

Pemberhentian akhir bus terletak diterminal rajabasa, namun karena tujuan kami ke Tanjung Bintang melewati bunderan haji mena, maka segera aku dan ibuku turun dibunderan haji mena. Sebenarnya bus selanjutnya yang akan membawa kami ke Kalibalok sudah ada, tapi kuajak ibuku ke komplek kampus poltekkes deket bunderan untuk sholat ashar terlebih dahulu. Selepas shalat ashar baru kami menaiki bus selanjutnya yang akan membawa kami ke kalibalok.

Sesampainya di kalibalok jam menunjukkan pukul 17.30 WIB itu artinya waktu maghrib segera tiba. Sebelum kami melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkot berwarna abu-abu jurusan Tanjung Bintang, aku mampir di toko jajanan untuk membeli minuman dan makanan ringan sejenis roti untuk buka puasa. Karena memang hari ini hijriyahnya tanggal 09 Dzulhijjah 1434 H, hari disunnahkannya untuk berpuasa Arafah. Dan tentu saja aku tak ingin melewatkan begitu saja puasa sunnah Arafah ini, karena nilai pahalanya yang begitu besar. Setelah dirasa cukup membeli panganan untuk berbuka puasa, maka segera aku dan ibuku menaiki angkot berwarna abu-abu jurusan Tanjung Bintang tersebut.

Jalan yang rusak menjadi hal yang lumrah didaerah ini. Angkot yang kami tumpangi bergejolak sana-sini tak tentu arah, ditambah sesaknya penumpang yang begitu padat. Butuh kesabaran dan kelapangan hati untuk tetap berada disini. Ketika masih dalam perjalanan menuju Tanjung Bintang, adzan maghrib berkumandang. Segera kubatalkan puasaku dengan meneguk minuman botol yang kubeli diwarung dekat kali balok tadi. Segar sekali rasanya minuman dingin jus rasa jeruk. Kemudian dengan lirih kulantunkan doa berbuka puasa “Dzahabazzomau Wabtallatil ‘uruqi Watsabatal Ajru Insya Allah” setelah itu kunikmati roti rasa coklat. Hmm.. nikmat sekali. Rasanya terbayar sudah rasa dahaga ditenggorokan ini setelah menahan diri dari makan dan minum di hari yang begitu panas.

Malam telah mengibaskan jubah gelapnya ketika aku dan ibuku sampai didaerah Tanjung Bintang. Alhamdulillah akhirnya kami sampai juga. Segera kami turun dan berjalan menuju gang kecil menuju rumah Teh Mina, bibiku. Sesampainya dirumah Teh Mina, tampak nenekku sedang duduk di kursi panjang ruang tamu. Ya Rabb, seperti inikah kondisi nenekku? Segera kudekati beliau dan kucium tangannya penuh takzim yang makin keriput karena termakan usia.

“Nek, apa kabar? Ini Oji datang dari Kotabumi sama emak.” Sapaku dengan nada bergetar.

“Oji siapa?” Tanya nenekku.

“Oji anaknya Titi nek.” Jawabku tak kuasa membendung air mata.

 Belum lagi selesai kubicara dengan nenek, datang Teh Mina untuk memaklumi keadaan nenek. Panjang lebar Teh Mina ceritakan asal muasal mengapa nenek menjadi seperti itu. Dengan seksama kuperhatikan penjelasan dari Teh Mina. Berbagai perasaan mucul melebur menjadi satu. Tiba-tiba terlintas kenagan-kenanganku bersama nenek. Saat aku tamat SD nenek memboyongku ke Pulau Jawa tepatnya di daerah Serang Banten untuk mondok disana. Meskipun hanya sebulan, tapi saat itulah aku merasa sangat dekat dengan nenek. Ketika aku merengek minta pulang ke Lampung karena tidak betah mondok, nenekku yang selalu membesarkan hatiku. Ketika aku sedang sedih nenek mengajakku untuk beli mie ayam yang lewat didepan rumah nenek. Dan puncaknya ketika aku benar-benar tidak betah dan ingin segera pulang ke Kotabumi, akhirnya nenek mengajakku ke wartel untuk menelepon orang Kotabumi untuk menjemputku. Itulah sekeping kenangan kebersamaanku bersama nenek.

Lamunanku terhenti ketika ibuku menyuruhku untuk makan karena ia tahu bahwa aku sedang puasa dan belum makan. Segera kuiyakan tapi kusempatkan diri ini untuk sholat terlebih dahulu. Karena sholat maghrib dan isya belum kutunaikan, maka kedua sholat itu kujamak takhir. Selepas sholat kupanjatkan doa untuk keselamatan dan kesehatan seluruh keluargaku, termasuk nenekku.

Pagi menjelang, kicauan burung serta kokokan ayam mewarnai indahnya pagi ini. Terdengar sayup-sayup suara takbir dari pengeras suara masjid dekat rumah bibiku ini. Hari ini merupakan hari raya idul adha. Idul kurban juga haji. Dua ritual agung yang menjadi hal yang ditunggu oleh seluruh umat muslim. Allah maha Rahmat. Hingga detik ini masih memberikan kesempatan padaku dan seluruh umatnya untuk mensyukuri atas segala nikmat-Nya.

Dan akhirnya hidup merupakan pilihan. Kita sebagai lakonnya berhak memilih arah dan tujuan hidup ini. Dan tergantung pada diri kita masing-masing. Apakah mau memilih hidup baik atau buruk. Hidup juga merupakan suatu fase. Banyak sekali fase-fase dalam kehidupan kita. Ada suka, duka, senang, sedih, tawa dan tangis. Yang terpenting dari semua itu adalah menyikapinya dengan bijaksana dan terukur.

Ya Allah terima kasih, Kau telah hadirkan orang-orang yang berharga dalam hidupku. Ibuku yang sangat kusayangi, Bapakku yang kurindukan kasih sayangnya, kakak-kakakku dan adikku yang kucintai. Dan semua keluargaku, Nenek, paman, bibi, sepupu dan keponakan-keponakanku. Aku mencintai kalian semua karena Allah.

Bandar Lampung, 22 Desember 2013 
Sebuah kisah lama yang akan terus terkenang 
By: Ahmad Tarnudzi 

*Tulisan ini kubuat dalam rangka menyambut Hari Ibu tanggal 22 Desember. Dan yang perlu diingat, bahwasanya hari ibu bukan tergantung pada tanggal 22 Desember saja. Tapi setiap saat tanpa jarak dan waktu kita harus berbakti kepada seorang ibu. I Love Mom..

Dan tulisan ini juga untuk mengenang nenekku “Hj. Harana” yang telah meninggal dunia disore hari pada tanggal 04 Oktober 2013 lalu di rumah Teh Mina, bibiku di Tanjung Bintang, Lampung Selatan.


Selamat Tinggal Nek..!
Foto ini menjadi kenangan terakhir kita di moment Idul Adha tahun 2012 lalu, Takdir Allah tidak bisa mempertemukan nenek di Idul Adha tahun 2013 ini.
Semoga amal sholeh & kebaikan nenek selama di dunia ini diterima oleh Allah SWT & Kami sekeluarga besar selalu mengenang segala kebaikan nenek ke kami selamanya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar